SETEGUK OPINI "GURU BAHASA HARUS SEORANG PENULIS"
Oleh : AlMin Sutoyo
Karnaval 17 Agustusan, biasanya setiap setiap
siswa-siswi sekolah menengah dapat memilih memakai pakaian adat atau pakaian
profesi. Siswa-siswi dapat memilih pakaian guru, Korpri, petani, dokter,
tentara, polisi dan bahkan wartawan. Entah kenapa siswa maupun siswi sekolah
menengah hobi sekali sekaligus mengidolakan profesi wartawan dalam acara
karnaval tersebut. Mungkin karena gaya kewartawanan wartawan yang “slenge’an”. Pakaian yang dipakai “siswa
wartawan” ya pakaian sehari-hari yang dikenakannya. Hal ini berbeda dengan
memakai pakaian adat karena biasanya pakaian adat menyewa dan mensoleknya mahal.
Dengan membawa model kamera handycam yang terbuat
dari kartun dan dilengkapi dengan microphone main-mainan yang juga terbuat dari
kertas kartun atau busa, “siswa dadakan wartawan” ini bergerombol dan sanagt
mudah ditandai karena gayanya yan “update” dan ceria. Mereka terlihat sibuk mewawancarai
orang-orang yang ada di sekitarnya. Sepertinya mereka hanya bertanya sambil
mengangguk-angguk seperti orang mengerti
tapi apa mereka benar-benar mengerti apa
yang dikatakan oleh orang yang diwawancarai.
Profesi wartawan identik dengan pekerjaan
menulis, tetapi “siswa wartawan karnavalan” sama sekali tidak pernah menuliskan
tentang hal yang diwawancarainya, tidak pernah merekam apalagi mempublikasikan
hasil pekerjannya. Tuh namanya saja “wartawan jadi-jadian”. Padahal seorang siswa sekolah Menengah sebenarnya sudah
dapat menjadi seorang wartawan sungguhan, mewawancari sumber, menuliskan
kembali hasil wawancara, bahkan hingga mempublikasikan. Saya pernah membaca tentang
beberapa siswa sekolah menengah yang memiliki penghasilan dari karya tulisannya
di media online. Sehingga penghasilan itu dapat membuatnya makmur.
Saya pernah memperhatikan beberapa guru Bahasa SMA kelas X mengajar tentang materi teks eksposisi
dan teks anekdot. Indikator penilaian kompetensi yang harus dikuasai siswa dimulai
dari yang terendah/LOTS hingga indikator kompetensi yang tertinggi/HOTS. Guru-guru
Bahasa yang saya amati sepertinya terlalu
menitikberatkan hanya di indikator pencapaian terendah, misalnya apa yang
dimaksud dengan teks eksposisi dan teks narasi, unsur-unsur yang menyusunnya
ciri kebahasaannya dan lainnya. Menurut saya, Indikator pencapaian kompetensi
yang terpenting sebenarnya adalah “Siswa
mampu menyusun teks eksposisi atau teks Anekdotnya sendiri”. Barulah dimulai
pencapaian target indikator kompetensi yang lebih rendah. Siswa tingkat
Menengah sudah mampu menyusun teks sendiri asalkan guru bahasa memberi
kesempatan kepada mereka. Jika siswa sekolah menegah mampu menyusun teksnya
sendiri tentunya guru bahasa pasti dapat
berbuat lebih dari itu. Guru bahasa di sekolah menengah kompeten membuat
teksnya sendiri dan tidak hanya mengandalkan teks yang terdapat di dalam Buku
Pelajaran Bahasa. Guru Bahasa pasti tidak ingin pembelajaran di
kelasnya berubah menjadi pembelajaran “teksbook” sehingga pembelajaran menjadi
tidak merdeka, kaku, dan biasa. Pembelajaran “teksbook” yang dilakukan guru
bahasa jauh dari kata “literasi” dan bertujuan untuk menjejalkan defenisi dan
pemahaman ke siswa, terkesan tidak kreatif dan guru hanya sebatas melaksanakan
tugas.
Saya menyakini guru bahasa mampu menulis teksnya sendiri dan dipastikan
guru yang menulis teksnya sendiri akan berusaha siswa agar siswa mampu sepeerti
dia, dapat menulis teksnya sendiri. Tentunya mampu karena mereka guru bahasa.
Kalau guru bahasa tidak mampu menyusun teks nya sendiri konon lagi guru-guru
mapel lainnya. Tapi yang saya amati, terkadang sebaliknya beberapa guru guru IPA
dan matematika aktif menulis teksnya. Ketidakmampuan guru guru bahasa sekolah
menengah dalam menulis teks mengakibatkan ketidakpercayaan diri guru itu ketika
di depan kelas dan menyampaikan materi tentang teks dan akan mengesampingkan
dan tidak menghargai siswa-siswi dikelasnya yang memiliki kemampuan menulis
teknya sendiri.
Pemerintah perlu memperhatikan ini dalam
merekrut guru bahasa baik sebagai ASN maupun P3K. “Guru bahasa harusnya seorang
penulis”. Atau paling tidak berusaha
menjadi seorang penulis. Yang paling diinginkan adalah seorang guru bahasa di
sekolah mampu menebarkan “Virus Literasi” (baca tulis) kepada warga sekolah lainnya.
Pante Raya, 4/2/2020
Komentar
Posting Komentar